Kamis, 13 April 2017

Sebab Cinta Harus Diupayakan dengan Melihat Kelebihan Pasangan


Three Red Hearts Hanging With White Flowers
Sebab Cinta Harus Diupayakan. Gambar dari pixabay
Dalam sebuah pernikahan apalagi setelah berjalan beberapa tahun, penting untuk "mau" melihat lagi kelebihan pasangan. Ini adalah salah satu cara dalam mengupayakan cinta. Mengapa? Sebab, ada masa ketika pernikahan dan kehidupan berumah tangga menjadi flat, datar, dan kita terjebak dalam rutinitas yang menjemukan. Apalagi saat anak-anak sudah mulai mandiri. Karena itu, mengupayakan cinta menjadi niscaya agar rumah tangga yang telah kita bangun tidak melesak, goyah, atau malah hancur.
Melihat kelebihan pasangan menjadi penting sebab sering kita bersikap tidak adil ketika emosi. Saat itu, yang tampak dari pasangan kita hanyalah seribu satu kekurangan, hingga tak satu pun kelebihan yang terlintas.

Sepertinya inilah saat yang tepat bagi saya untuk "tidak gengsi" melihat kelebihan suami setelah lebih dari 10 tahun menikah.
Jadi, setelah menatap suami diam-diam (ini fiktif beneran, deh) saya akan menuliskan beberapa kelebihan suami. Semoga upaya ini membuat cinta di antara kami kembali tumbuh sesubur cendawan di musim hujan.

1. Suami yang penyabar tingkat dewa

Betul, sih. Suami saya memang sabarnya sudah terkenal di seantero keluarga dan tetangga. Alhamdulillah, karena sejak awal saya selalu berdoa agar bila Allah memberi jodoh pada saya, dia adalah orang yang sabar. Dengan karakter saya yang seperti sprite dikocok, akan jadi perang baratayudha kalau dapatnya pasangan yang gampang meledak.
Sepanjang pernikahan kami yang hampir 15 tahun, saya hampir belum pernah kena bentak. Alih-alih marah atau jengkel, si dia memilih mengalihkan perhatian dengan ngemil atau sibuk dengan hp atau komputer.
Dengan anak-anak pun demikian. Hanya satu kali suami marah besar pada anak sulung kami. Dan setiap kali ingat, suami merasa sangat menyesal.

2. Suami sering meminta maaf lebih dulu

Ini nih, yang bikin saya nggak bisa marah lama-lama. Bagaimana bisa ngambek berhari-hari, kalau baru beberapa jam saja suami datang mendekat lalu meminta maaf. Yey, padahal saya yang emosi, malah dia yang minta maaf. Tak cuma itu. Biasanya ada bonus pijitan di kaki saya plus segelas teh atau kopi buat diminum berdua. Alalalala ... rencana perang dingin gagal, deh. Kalau sudah begini, saatnya saya mengutarakan baik-baik apa yang jadi masalah dan kami lebih siap mendiskusikan berdua untuk mencari jalan keluar.

3. Tak jengah melakukan pekerjaan domestik

Man cleaning home with broom

Mungkin karena suami bukan orang kantoran alias wiraswasta, jadi memang memiliki waktu yang fleksibel. Ketika awal menikah, justru saya yang risih kalau dia membantu pekerjaan rumah. Ini dipengaruhi oleh kultur keluarga saya (bapak ibu) yang sangat membedakan antara perkerjaan lelaki dan perempuan.
Namun, karena kami sama-sama tak begitu suka dengan asisten rumah tangga apalagi yang tinggal di rumah, sementara saya waktu itu kerja kantoran lalu memiliki anak, mau tidak mau saya harus menerima bantuan suami untuk urusan rumah.
Bertepatan, ketika suami masih bujang ternyata memang terbiasa membantu pekerjaan ibunya di rumah. Mencuci, mengepel, sudah menjadi kebiasaannya.
Lama kelamaan, saya menikmati bantuannya dalam pekerjaan domestik (aiishhh ...). Tapi perkara memasak, melipat baju, setrika, jangan serahkan padanya. Dijamin bikin jengkel-jengkel geli!

4. Humoris 

Inilah yang bikin rumah kami jadi hangat dan meriah. Hal-hal sepele bisa jadi candaan yang membuat rumah dipenuhi tawa. Bahkan lagu melow atau romatis kesukaan saya bakal jadi bahan untuk lelucon. Apalagi drama korea atau sinetron ftv.
Maka jangan heran kalau channel yang kami pilih selain berita adalah sebangsa stand up comedy, Cak Lontong, dan Sule.
Ketika banyak anak-anak takut pada ayahnya, istri seakan berhadapan dengan raja di depan suaminya, maka hubungan di antara kami lebih seperti teman. Anak laki-laki kami tak sungkan menceritakan persoalan pribadi pada sang ayah. Saya pun bisa menjadi diri sendiri dan lebih bisa rileks menghadapi dunia.

5. Di lidahnya hanya ada makanan enak dan enak banget

Maka jangan tanya rasa makanan padanya, sebab hanya ada dua rasa: enak dan enak banget. Karena itulah, saya tak takut mencoba-coba resep baru, sebab suami siap menjadi penampung apapun rasa dan bentuknya.
Mencoba resto baru juga tidak perlu waswas kalau tidak cocok di lidah. Terutama lidah saya yang lumayan pemilih. Suami siap jadi "So Clean".

Terima kasih untuk mbak Anggarani Citra yang telah memilih tema "Melihat Kelebihan Pasangan" untuk pekan ini. Akhirnya, tema ini jadi postingan terakhir di putaran pertama Blogger Muslimah Sisterhood yang diadakan oleh Blogger Muslimah Indonesia.

Selasa, 04 April 2017

5 Pengalaman yang Jadi Kenangan Tak Terlupakan


foto Roller coaster dari sini

Sesungguhnya, memilih kenangan tak terlupakan itu sulit bagi saya. Kenapa? Karena banyak sekali kejadian terutama di masa kecil yang sulit untuk dilupakan. Dengan 4 kakak laki-laki, 3 saudara perempuan, Bapak yang antusias pada hal-hal baru, Ibu yang mendukung sepenuhnya, otomatis membuat hidup saya penuh warna dan menjadi kenangan abadi. Oleh karenanya, saya membatasi pada 5 pengalaman yang jadi kenangan tak terlupakan saja. 5 kenangan ini sengaja saya pilih sebab sepertinya sekarang nggak bakal saya ulangi lagi.  

1. Naik Roller Coaster di Ancol

Waktu itu saya masih usia SMA. Nyali masih kuat-kuatnya. Di sela-sela menghadiri pernikahan kerabat, Bapak mengajak kami ke Ancol. Karena sepertinya bakal mencoba semua permainan, jadi kami membeli tiket terusan. Di antara semua permainan yang saya coba, roller coaster yang paling memicu adrenalin. Sebelum naik bahkan saya memastikan pada penjaga kalau permainan ini aman. Jujur saja saya takut jantung bakal copot.
Jadi saya tanya ke mas petugas, "Ini nggak bikin mati, kan?"
Mas penjaga menjawab dengan geli, "Nggak. Aman, kok."
Oke! Saya berdoa sebelum wahana ini mulai dimainkan. Gilaaa ... semakin lama, semakin cepat dan semakin meliuk dan menukik. Kondisi naik sih saya anteng. Tapi begitu mulai di puncak dan mau turun, huaaa ... jeritan sendiri sampai tak terdengar. Entah karena saking kencengnya atau ramainya jeritan dari penumpang lainnya.
Menegangkan tapi seru. Meski begitu saya nggak bakal mau kalau sekarang disuruh naik lagi. Ingat jantung tua 😁

2. Piknik dengan Truk

Piknik dengan naik truk, beberapa kali kami lakukan waktu saya masih kecil. Saat itu, selain motor, hanya truk yang Bapak punya. Karena pertimbangan ekonomis, Bapak selalu membeli segala hal dengan tujuan utama untuk menunjang usaha keluarga.
Dengan 8 anak ditambah beberapa orang yang telah ikut keluarga kami, truk jadi satu-satunya pilihan untuk mengangkut keluarga besar. Bahkan tetangga yang memiliki truk mengikuti jejak kami.
Duduk di bak belakang memang bakal tak dapat melihat keluar. Kalau berdiri terus juga capek. Karena itu kakak-kakak saya membawa kursi ke dalam truk. Tentu saja tikar tidak ketinggalan plus bantal 😆😆.
Jadi, saat duduk di truk kami serasa sedang duduk di ruang tamu rumah.
Karena dulu jalan raya masih relatif sepi, jadi tak ada masalah dengan polisi. Ngomong-ngomong, enak juga lho sebetulnya naik truk. Kita bisa leluasa bergerak, dan angin masuk dengan bebas tak perlu AC.


3. Silaturahim menerabas hutan

Silaturahim adalah salah satu hobi Bapak. Jadi, kalau ada waktu libur terutama lebaran, jangan harap kami ada di rumah. Bapak memilih keliling dari satu kerabat ke kerabat lain. Dengan posisi ibu di keluarganya sebagai bungsu, memberi alasan bagi kami untuk sowan (berkunjung) ke rumah pakdhe-pakdhe dan budhe.
Salah satu pakdhe  (kakak dari ibu) berprofesi sebagai jagawana. Kebetulan tahun itu, pakdhe ditugaskan di hutan yang tak jauh dari rumah kami. Maksudnya, masih terjangkau jarak sehari. Karena profesinya itu, kami memang merasa belum pernah bertemu, padahal anak-anaknya ada yang tinggal bersama kami.
Jadilah Bapak mengajak kami semua menyambangi pakdhe.
Lokasi rumahnya yang terpencil di pinggiran hutan, membuat kami sering salah jalan. Hingga pada suatu titik, tak ada jalur jalan sama sekali, bahkan jalur setapak untuk jalan kaki pun tak ada. Padahal kami datang mengendarai mobil colt diesel L 300. Syukurlah sopir kami prigel alias gesit. Dengan rasa deg-degan kami harus mencari jalur baru, menghindari pohon sana sini. Belum lagi saat melewati parit, dan yang ada hanya satu balok kayu untuk menyeberang. Di sinilah keempat kakak saya beraksi. Mereka membuat jembatan darurat dengan kayu dan bebatuan. Semua penumpang turun. Dengan aba-aba dari kakak-kakak saya, sopir berhasil melewati jembatan darurat ala kadarnya dengan sukses.
Sampai di rumah pakdhe, kami disambut dengan persiapan acara bakar jagung muda dan singkong.
 

  
4. Bergelantungan di Pintu Bus

Mungkin ini hal biasa untuk sebagian orang, apalagi yang tinggal di daerah agak pelosok. Waktu kuliah saya memang indekos di dekat kampus. Tapi, seminggu sekali saya pulang. Nah, saat kembali ke kampus inilah tantangannya. Kalau pas Bapak ada acara ke Solo, saya bisa sekalian numpang. Kalau tidak, ya, saya harus naik bus antarkota. Bukan bus besar macam Sumber Kencono itu. Supaya bus nya untung, seringnya sopir dan kenek akan mengangkut berapapun penumpang yang menunggu di pinggir-pinggir jalan. Meski yang berdiri sudah berjubelan sampai pintu, bus tetap akan menarik penumpang. Jadi, penumpang yang bergelantungan di pintu jadi hal biasa, terutama di pagi hari. Saya salah satu penumpang yang melakukannya. Memang pilihan sulit, sebab menunggu bus berikutnya pun sama kondisinya. Bisa saja menunggu bus lebih siang, tapi ya bakal nggak ikut kuliah hari itu.
Sekarang, setiap mengingat pengalaman itu jadi ngeri. Apalagi ada beberapa kejadian bus terguling ke sawah. Kenapa dulu berani-beraninya nekat berdiri di pintu bus, ya? 

 5. Memegangi Ayam saat Disembelih

Ampuuun, sadis juga ya pengalaman saya. Jadi, dulu Bapak memiliki peternakan ayam. Ada ayam petelur, ada ayam potong. Biasanya, ayam yang nggak laku dijual kita konsumsi sendiri sebagian. Karena saya anak ke-7 dan waktu itu masih single, jadi yang sering di rumah ya saya dan adik saya. Kakak-kakak saya yang lain sudah dibawa pergi sama pasangannya.
Karena itulah, saat memotong ayam, Bapak biasa menyuruh saya atau adik saya memegangi badan si ayam, sementara Bapak memegangi kepala dan menyembelihnya.
Dulu lihat darah mengucur, kok, ya biasa-biasa saja. Bahkan setelah itu saya bantu ibu mencabuti bulu dan memasaknya. Terakhir menikmati di meja makan bersama.
Sekarang? Hiii ... big NO untuk mengulangi pengalaman itu lagi. Ngeriii ...🙅  🙈 

Itulah 5 pengalaman saya yang jadi kenangan tak terlupakan. Seru-seru sadis! Ahaha. Bagaimana dengan pengalaman kalian?

Karena tema yang diberikan oleh mbak anis khoir di event Blogger Muslimah Sisterhood, yang diadakan oleh Blogger Muslimah Indonesia saya jadi kangen masa-masa masih single, ketika semua anggota keluarga masih lengkap. 😢