Kamis, 13 April 2017

Sebab Cinta Harus Diupayakan dengan Melihat Kelebihan Pasangan


Three Red Hearts Hanging With White Flowers
Sebab Cinta Harus Diupayakan. Gambar dari pixabay
Dalam sebuah pernikahan apalagi setelah berjalan beberapa tahun, penting untuk "mau" melihat lagi kelebihan pasangan. Ini adalah salah satu cara dalam mengupayakan cinta. Mengapa? Sebab, ada masa ketika pernikahan dan kehidupan berumah tangga menjadi flat, datar, dan kita terjebak dalam rutinitas yang menjemukan. Apalagi saat anak-anak sudah mulai mandiri. Karena itu, mengupayakan cinta menjadi niscaya agar rumah tangga yang telah kita bangun tidak melesak, goyah, atau malah hancur.
Melihat kelebihan pasangan menjadi penting sebab sering kita bersikap tidak adil ketika emosi. Saat itu, yang tampak dari pasangan kita hanyalah seribu satu kekurangan, hingga tak satu pun kelebihan yang terlintas.

Sepertinya inilah saat yang tepat bagi saya untuk "tidak gengsi" melihat kelebihan suami setelah lebih dari 10 tahun menikah.
Jadi, setelah menatap suami diam-diam (ini fiktif beneran, deh) saya akan menuliskan beberapa kelebihan suami. Semoga upaya ini membuat cinta di antara kami kembali tumbuh sesubur cendawan di musim hujan.

1. Suami yang penyabar tingkat dewa

Betul, sih. Suami saya memang sabarnya sudah terkenal di seantero keluarga dan tetangga. Alhamdulillah, karena sejak awal saya selalu berdoa agar bila Allah memberi jodoh pada saya, dia adalah orang yang sabar. Dengan karakter saya yang seperti sprite dikocok, akan jadi perang baratayudha kalau dapatnya pasangan yang gampang meledak.
Sepanjang pernikahan kami yang hampir 15 tahun, saya hampir belum pernah kena bentak. Alih-alih marah atau jengkel, si dia memilih mengalihkan perhatian dengan ngemil atau sibuk dengan hp atau komputer.
Dengan anak-anak pun demikian. Hanya satu kali suami marah besar pada anak sulung kami. Dan setiap kali ingat, suami merasa sangat menyesal.

2. Suami sering meminta maaf lebih dulu

Ini nih, yang bikin saya nggak bisa marah lama-lama. Bagaimana bisa ngambek berhari-hari, kalau baru beberapa jam saja suami datang mendekat lalu meminta maaf. Yey, padahal saya yang emosi, malah dia yang minta maaf. Tak cuma itu. Biasanya ada bonus pijitan di kaki saya plus segelas teh atau kopi buat diminum berdua. Alalalala ... rencana perang dingin gagal, deh. Kalau sudah begini, saatnya saya mengutarakan baik-baik apa yang jadi masalah dan kami lebih siap mendiskusikan berdua untuk mencari jalan keluar.

3. Tak jengah melakukan pekerjaan domestik

Man cleaning home with broom

Mungkin karena suami bukan orang kantoran alias wiraswasta, jadi memang memiliki waktu yang fleksibel. Ketika awal menikah, justru saya yang risih kalau dia membantu pekerjaan rumah. Ini dipengaruhi oleh kultur keluarga saya (bapak ibu) yang sangat membedakan antara perkerjaan lelaki dan perempuan.
Namun, karena kami sama-sama tak begitu suka dengan asisten rumah tangga apalagi yang tinggal di rumah, sementara saya waktu itu kerja kantoran lalu memiliki anak, mau tidak mau saya harus menerima bantuan suami untuk urusan rumah.
Bertepatan, ketika suami masih bujang ternyata memang terbiasa membantu pekerjaan ibunya di rumah. Mencuci, mengepel, sudah menjadi kebiasaannya.
Lama kelamaan, saya menikmati bantuannya dalam pekerjaan domestik (aiishhh ...). Tapi perkara memasak, melipat baju, setrika, jangan serahkan padanya. Dijamin bikin jengkel-jengkel geli!

4. Humoris 

Inilah yang bikin rumah kami jadi hangat dan meriah. Hal-hal sepele bisa jadi candaan yang membuat rumah dipenuhi tawa. Bahkan lagu melow atau romatis kesukaan saya bakal jadi bahan untuk lelucon. Apalagi drama korea atau sinetron ftv.
Maka jangan heran kalau channel yang kami pilih selain berita adalah sebangsa stand up comedy, Cak Lontong, dan Sule.
Ketika banyak anak-anak takut pada ayahnya, istri seakan berhadapan dengan raja di depan suaminya, maka hubungan di antara kami lebih seperti teman. Anak laki-laki kami tak sungkan menceritakan persoalan pribadi pada sang ayah. Saya pun bisa menjadi diri sendiri dan lebih bisa rileks menghadapi dunia.

5. Di lidahnya hanya ada makanan enak dan enak banget

Maka jangan tanya rasa makanan padanya, sebab hanya ada dua rasa: enak dan enak banget. Karena itulah, saya tak takut mencoba-coba resep baru, sebab suami siap menjadi penampung apapun rasa dan bentuknya.
Mencoba resto baru juga tidak perlu waswas kalau tidak cocok di lidah. Terutama lidah saya yang lumayan pemilih. Suami siap jadi "So Clean".

Terima kasih untuk mbak Anggarani Citra yang telah memilih tema "Melihat Kelebihan Pasangan" untuk pekan ini. Akhirnya, tema ini jadi postingan terakhir di putaran pertama Blogger Muslimah Sisterhood yang diadakan oleh Blogger Muslimah Indonesia.

Selasa, 04 April 2017

5 Pengalaman yang Jadi Kenangan Tak Terlupakan


foto Roller coaster dari sini

Sesungguhnya, memilih kenangan tak terlupakan itu sulit bagi saya. Kenapa? Karena banyak sekali kejadian terutama di masa kecil yang sulit untuk dilupakan. Dengan 4 kakak laki-laki, 3 saudara perempuan, Bapak yang antusias pada hal-hal baru, Ibu yang mendukung sepenuhnya, otomatis membuat hidup saya penuh warna dan menjadi kenangan abadi. Oleh karenanya, saya membatasi pada 5 pengalaman yang jadi kenangan tak terlupakan saja. 5 kenangan ini sengaja saya pilih sebab sepertinya sekarang nggak bakal saya ulangi lagi.  

1. Naik Roller Coaster di Ancol

Waktu itu saya masih usia SMA. Nyali masih kuat-kuatnya. Di sela-sela menghadiri pernikahan kerabat, Bapak mengajak kami ke Ancol. Karena sepertinya bakal mencoba semua permainan, jadi kami membeli tiket terusan. Di antara semua permainan yang saya coba, roller coaster yang paling memicu adrenalin. Sebelum naik bahkan saya memastikan pada penjaga kalau permainan ini aman. Jujur saja saya takut jantung bakal copot.
Jadi saya tanya ke mas petugas, "Ini nggak bikin mati, kan?"
Mas penjaga menjawab dengan geli, "Nggak. Aman, kok."
Oke! Saya berdoa sebelum wahana ini mulai dimainkan. Gilaaa ... semakin lama, semakin cepat dan semakin meliuk dan menukik. Kondisi naik sih saya anteng. Tapi begitu mulai di puncak dan mau turun, huaaa ... jeritan sendiri sampai tak terdengar. Entah karena saking kencengnya atau ramainya jeritan dari penumpang lainnya.
Menegangkan tapi seru. Meski begitu saya nggak bakal mau kalau sekarang disuruh naik lagi. Ingat jantung tua 😁

2. Piknik dengan Truk

Piknik dengan naik truk, beberapa kali kami lakukan waktu saya masih kecil. Saat itu, selain motor, hanya truk yang Bapak punya. Karena pertimbangan ekonomis, Bapak selalu membeli segala hal dengan tujuan utama untuk menunjang usaha keluarga.
Dengan 8 anak ditambah beberapa orang yang telah ikut keluarga kami, truk jadi satu-satunya pilihan untuk mengangkut keluarga besar. Bahkan tetangga yang memiliki truk mengikuti jejak kami.
Duduk di bak belakang memang bakal tak dapat melihat keluar. Kalau berdiri terus juga capek. Karena itu kakak-kakak saya membawa kursi ke dalam truk. Tentu saja tikar tidak ketinggalan plus bantal 😆😆.
Jadi, saat duduk di truk kami serasa sedang duduk di ruang tamu rumah.
Karena dulu jalan raya masih relatif sepi, jadi tak ada masalah dengan polisi. Ngomong-ngomong, enak juga lho sebetulnya naik truk. Kita bisa leluasa bergerak, dan angin masuk dengan bebas tak perlu AC.


3. Silaturahim menerabas hutan

Silaturahim adalah salah satu hobi Bapak. Jadi, kalau ada waktu libur terutama lebaran, jangan harap kami ada di rumah. Bapak memilih keliling dari satu kerabat ke kerabat lain. Dengan posisi ibu di keluarganya sebagai bungsu, memberi alasan bagi kami untuk sowan (berkunjung) ke rumah pakdhe-pakdhe dan budhe.
Salah satu pakdhe  (kakak dari ibu) berprofesi sebagai jagawana. Kebetulan tahun itu, pakdhe ditugaskan di hutan yang tak jauh dari rumah kami. Maksudnya, masih terjangkau jarak sehari. Karena profesinya itu, kami memang merasa belum pernah bertemu, padahal anak-anaknya ada yang tinggal bersama kami.
Jadilah Bapak mengajak kami semua menyambangi pakdhe.
Lokasi rumahnya yang terpencil di pinggiran hutan, membuat kami sering salah jalan. Hingga pada suatu titik, tak ada jalur jalan sama sekali, bahkan jalur setapak untuk jalan kaki pun tak ada. Padahal kami datang mengendarai mobil colt diesel L 300. Syukurlah sopir kami prigel alias gesit. Dengan rasa deg-degan kami harus mencari jalur baru, menghindari pohon sana sini. Belum lagi saat melewati parit, dan yang ada hanya satu balok kayu untuk menyeberang. Di sinilah keempat kakak saya beraksi. Mereka membuat jembatan darurat dengan kayu dan bebatuan. Semua penumpang turun. Dengan aba-aba dari kakak-kakak saya, sopir berhasil melewati jembatan darurat ala kadarnya dengan sukses.
Sampai di rumah pakdhe, kami disambut dengan persiapan acara bakar jagung muda dan singkong.
 

  
4. Bergelantungan di Pintu Bus

Mungkin ini hal biasa untuk sebagian orang, apalagi yang tinggal di daerah agak pelosok. Waktu kuliah saya memang indekos di dekat kampus. Tapi, seminggu sekali saya pulang. Nah, saat kembali ke kampus inilah tantangannya. Kalau pas Bapak ada acara ke Solo, saya bisa sekalian numpang. Kalau tidak, ya, saya harus naik bus antarkota. Bukan bus besar macam Sumber Kencono itu. Supaya bus nya untung, seringnya sopir dan kenek akan mengangkut berapapun penumpang yang menunggu di pinggir-pinggir jalan. Meski yang berdiri sudah berjubelan sampai pintu, bus tetap akan menarik penumpang. Jadi, penumpang yang bergelantungan di pintu jadi hal biasa, terutama di pagi hari. Saya salah satu penumpang yang melakukannya. Memang pilihan sulit, sebab menunggu bus berikutnya pun sama kondisinya. Bisa saja menunggu bus lebih siang, tapi ya bakal nggak ikut kuliah hari itu.
Sekarang, setiap mengingat pengalaman itu jadi ngeri. Apalagi ada beberapa kejadian bus terguling ke sawah. Kenapa dulu berani-beraninya nekat berdiri di pintu bus, ya? 

 5. Memegangi Ayam saat Disembelih

Ampuuun, sadis juga ya pengalaman saya. Jadi, dulu Bapak memiliki peternakan ayam. Ada ayam petelur, ada ayam potong. Biasanya, ayam yang nggak laku dijual kita konsumsi sendiri sebagian. Karena saya anak ke-7 dan waktu itu masih single, jadi yang sering di rumah ya saya dan adik saya. Kakak-kakak saya yang lain sudah dibawa pergi sama pasangannya.
Karena itulah, saat memotong ayam, Bapak biasa menyuruh saya atau adik saya memegangi badan si ayam, sementara Bapak memegangi kepala dan menyembelihnya.
Dulu lihat darah mengucur, kok, ya biasa-biasa saja. Bahkan setelah itu saya bantu ibu mencabuti bulu dan memasaknya. Terakhir menikmati di meja makan bersama.
Sekarang? Hiii ... big NO untuk mengulangi pengalaman itu lagi. Ngeriii ...🙅  🙈 

Itulah 5 pengalaman saya yang jadi kenangan tak terlupakan. Seru-seru sadis! Ahaha. Bagaimana dengan pengalaman kalian?

Karena tema yang diberikan oleh mbak anis khoir di event Blogger Muslimah Sisterhood, yang diadakan oleh Blogger Muslimah Indonesia saya jadi kangen masa-masa masih single, ketika semua anggota keluarga masih lengkap. 😢







Rabu, 22 Maret 2017

5 Masakan Khas yang Mengingatkan pada Ibu dan Rumah



Pekan ini saya mendapat giliran jadi pemenang arisan blogger dalam event Blogger Muslimah Sisterhood yang diadakan oleh komunitas Blogger Muslimah. Sebab tiba-tiba saya kangen ibu, jadi saya mengambil tema masakan khas yang mengingatkan pada ibu dan rumah.

Entah mengapa ada masakan tertentu yang mengingatkan pada ibu dan rumah. Ada sesuatu yang tak bisa hilang atau terlupakan. Bahkan semakin beragam jenis makanan yang sudah kita nikmati, masakan ibu di rumah justru makin bikin kangen. Rasa, tampilan, dan aroma masakan ibu tak bisa tergantikan.
Bagi saya yang sudah berkeluarga, pun sering kangen dengan masakan Ibu. Dulu waktu ibu masih ada, saya tinggal pulang dan rasa kangen akan terobati. Bahkan tak jarang ibu datang ke rumah saya sambil membawa masakan beliau. Kadang saya berusaha membuatnya sendiri tetapi tetap ada beda meski dengan resep yang sama. Suami juga ternyata punya kenangan akan masakan ibunya, yaitu ikan kembung goreng dan sambal tomat.

Di antara sekian banyak masakan, ada 5 masakan khas yang selalu menghubungkan kenangan saya pada ibu dan rumah.

Sabtu, 18 Maret 2017

Rp 3500, Hikmah di Balik Ujian



Betapa menakjubkan cara Allah memberi ujian dan pertolongan sekaligus hikmah di balik setiap ujian. Pas, Rp 3500. Sejumlah itulah yang diberikan Allah ketika kami kebingungan membeli beras dan isi ulang gas. Tidak kurang tidak lebih. Dari uang yang kami dapatkan itulah kami dapat mengambil hikmah besar di balik ujian yang datang.

Ketika itu, saya sudah resign dari pekerjaan setelah usia anak saya 6 bulan. Keputusan yang berat karena pekerjaan suami belum stabil. Namun, tindakan itu harus saya lakukan karena bayi saya lahir premature dengan BB di bawah standar. Sampai usia 6 bulan, perkembangannya masih bergerak lamban. Jadi, kami memutuskan untuk menghandle sendiri anak kami. Penyesalan selalu jatuh di belakang, bukan? Jadi, saya tak mau menyesal jika sesuatu terjadi pada anak saya. Dialah prioritas kami saat itu.
Demi dapur yang tetap bisa mengepul, kami membuka warung kelontong kecil di ruangan depan. Rupanya Allah memang sedang menguji saya. Pemilik rumah tepat di seberang jalan ikut membuka toko kelontong. Lebih besar, lebih lengkap, dan walhasil lebih laris karena koneksinya lebih banyak, sementara kami hanyalah pendatang.

Tertatih-tatih kami meyakini bahwa Allah akan memberi rezeki sesuai kebutuhan. Syukurlah suami selalu mengingatkan agar kami sabar dan yakin bahwa Allah tak akan menguji kita di luar kemampuan. Meski tentu saja sulit bagi saya ketika beras habis, kulkas kosong, sementara tak sepeser pun uang ada di tangan.
Sepertinya Allah memang hendak "menanting" (meminta ketegasan sikap) kami apakah akan mengimani bahwa Allah Maha Pemberi Rezeki atau ingkar.



Suatu sore, saya benar-benar kebingungan. Bersamaan, beras dan gas habis. Sementara uang yang saya pegang tak cukup untuk membeli keduanya berbarengan. Saya harus memilih antara membeli beras satu kilo (ya, bahkan kami hanya mampu membeli beras satu kilo) atau membeli isi ulang gas? Waktu itu tabung gas yang tersedia adalah tabung gas besar berisi 12 kg. Membeli salah satu tidak menyelesaikan solusi. Kami akan tetap kelaparan. Membeli gas, tapi tak punya beras. Apa yang akan kami makan? Membeli beras tapi tak punya gas, bagaimana kami harus memasak sayuran?

Sampai suami pulang kerja, saya belum membeli apa-apa. Setengah berharap siapa tahu suami masih memiliki uang untuk tambahan. Ternyata dompet suami kosong melompong. Saya terdiam menahan diri agar tidak terbawa emosi. Sementara suami tampak mondar-mandir di rumah, merogoh-rogoh lemari mungkin berharap ada uang terselip di antara baju-baju kami.
Senja sepertinya turun lebih cepat, dan rumah terasa senyap. Sementara dada saya makin kencang berdegup. Kami tak saling bicara karena menahan diri agar tak keluar keluhan atau saling menyalahkan.
Menjelang maghrib, datang seorang pembeli. Satu-satunya pembeli hari ini. Suami yang melayani karena saya mengurus si kecil di dalam rumah.

Selesai melayani pembeli, suami mendekati saya sambil geleng-geleng kepala.
"Ada apa?" tanyaku heran.
"Allah luar biasa. Kamu tahu apa yang dibeli orang tadi?" tanyanya balik.
Aku menggeleng tentu saja.
"Apa yang dia beli harganya pas dengan uang yang kita butuhkan saat ini. Dia membeli test pack. Kita kurang 3500 rupiah untuk beli gas, dan Allah mendatangkan pembeli yang membutuhkan test pack seharga 3500." Suami menunjukkan uang di tangannya.
Saya tercenung. Lama. Allah memang luar biasa tepat. Dia memberi di waktu yang tepat dengan jumlah yang tepat.

Kejadian ini menjadi pegangan kami sepanjang menjalani hari-hari berikutnya. Dan betapa seringnya Allah memberi kami ujian berupa kekurangan dan tiba-tiba saja entah bagaimana caranya, Allah mendatangkan pertolongan-Nya.

Pernah kami membutuhkan uang, tiba-tiba suatu malam ada yang mengirim sms, meminta saya membuat sebuah tulisan pendek tentang perusahaannya. Beliau hanya membutuhkan beberapa kalimat saja. Dan keesokan harinya, beliau datang memberi pekerjaan berbeda sambil menyelipkan amplop berisi uang yang membuat saya kaget karena nominalnya jauh lebih besar dari ekspektasi saya.

Lain waktu, ketika suami ke sana kemari mencari pekerjaan karena di PHK, dan tak juga mendapat kabar baik, tiba-tiba di tengah jalan ketika mengantar saya untuk mengikuti sebuah kajian, ada telepon masuk di ponsel saya. Saya antara tertawa dan menangis setelah menerima telepon. Tak disangka ada sebuah penerbitan yang menawari saya pekerjaan dengan jam kerja sesuai kemampuan saya. AllahuAkbar! Betapa unik cara Allah menolong kami.

Begitulah cara Allah meyakinkan kami, menempa iman kami, agar yakin sepenuh-penuhnya, bahwa pertolongan Allah itu dekat. Allah tak akan menyia-nyiakan hamba-Nya apalagi mendzoliminya.
Bukankah badai yang menerpa, justru dapat mempercepat laju kapal menuju dermaga? Sebuah hikmah besar di balik setiap ujian yang didatangkan. Jadi, mengapa harus gamang memikirkan masa depan?

Innallaha ma'ana. Hasbunallah wani'mal wakiil. Ni'mal maula wa ni'man nasiir.


Kisah ini merupakan bagian dalam event Blogger Muslimah Sisterhood yang diadakan oleh Blogger Muslimah Indonesia.



Selasa, 31 Januari 2017

Cara Mudah Repost atau Kirim Ulang Foto di Instagram

Sekarang akun Instagram semakin banyak pengguna. Social Media yang memanjakan para fotografer dan penikmat foto, atau sekadar menyalurkan hobi memotret  ini kini bahkan semakin dipenuhi oleh para pemilik online shop, penulis, penerbit. Belakangan ini banyak penulis, olshop, penerbit, yang mengadakan giveaway atau bagi-bagi hadiah kepada followernya melalui akun instagram. Biasanya salah satu syaratnya adalah me-repost foto produk mereka di instagram. Ada yang memberi tambahan syarat dengan "mengikutsertakan caption".

Rupanya banyak pengguna Instagram yang masih bingung cara me-repost atau mengirim ulang foto di Instagram. Mungkin ada yang memakai cara manual yaitu dengan screenshot foto yang akan di-repost lalu unggah di Instagram. Ada cara lebih mudah yaitu dengan memakai aplikasi Repost. Ada juga aplikasi lain yang sejenis yaitu Insta Repost, Regrann, dan lain-lain.
Inilah cara mudah repost atau kirim ulang foto di Instagram dengan aplikasi Repost.

Cara Mudah Repost Foto di Instagram

1. Unduh aplikasi Repost melalui PlayStore (gratis)


2. Masuk ke akun Instagram

3. Pilih foto yang akan di-repost


4. Klik tanda titik 3 di sebelah kanan atas foto

5. Pilih "copy share url".




6. Klik ikon repost di kiri atas HP atau masuk ke aplikasi Repost


 7. Pilih tampilan nama fotografer (sumber asli). Di foto itu nama fotografernya "rien.dj". Nama fotografer asli bisa diletakkan di kanan bawah, kiri bawah, kanan atas, atau kiri atas. Tampilan juga bisa dipilih yang dark atau putih
Klik Repost
 8. Klik Open Instagram



Selasa, 17 Januari 2017

Menurutku, Bukan Menurut Ini Itu

 Kemarin saat antri dokter, saya diajak ngobrol seorang dosen seni. Bercelana jeans dengan ujung digulung, rambut panjang dikuncir. Bicaranya jelas dengan irama lambat. Khas dosen yang sedang menjelaskan sesuatu. Dia datang bersama istrinya. Waktu itu,antrian kami beriringan. Saya dapat antrian tepat setelahnya. Seperti biasa obrolan kami dimulai dengan pertanyaan tentang sakit masing-masing. Berlanjut dengan yang lebih berat yaitu tentang mafia obat, tax amnesti, hingga kebijakan pemerintah tentang bpjs. Kali ini waktu menunggu yang biasanya membosankan jadi tak terasa.

Obrolan yang paling berkesan dan jadi selfreminder adalah tentang dunia pendidikan.
"Mbak tahu tidak menteri paling baik di Indonesia?"
Saya menggeleng.

"Fuad Hasan. Mengapa. Karena beliau membuat kurikulum yang membentuk mahasiswa menjadi pencipta karya. Mahasiswa yang kreatif, bukan mahasiswa yang suka mengutip tokoh ini itu. Sebetulnya inilah yang dibutuhkan Indonesia. Orang yang mengatakan 'menurutku' bukan mereka yang mengatakan 'menurut Socrates, Plato, Aristoteles. Bukan mereka yang mengatakan 'menurut ini dan itu'."

Saya tercenung. Ingat bagaimana dulu saya membuat skripsi. Hampir semua isinya berdasarkan teori ini dan itu. Mungkin karena itulah saya tak berani melanjutkan S2 dan saya tak bangga dengan isi skripsi saya. Not at all.

"Dunia pendidikan kita sekarang sangat rendah kualitasnya karena mereka lebih suka meniru, mengutip," lanjut si bapak. Saya mengangguk-angguk. Lalu tercenung kembali mengingat naskah saya yang mentok. Ide saya sedang buntu sebuntu buntunya. Kreativitas saya sedang drop. Tapi, saya jadi bersemangat karena obrolan dengan bapak dosen tersebut. Tiba-tiba pintu ruang praktik terbuka. Satu pasien keluar. Giliran si bapak dosen itu masuk.

"Maaf, saya duluan, ya, Mbak.Maaf lho karena obrolan saya yang ngalor ngidul. Maaf, ya."

Saya sungguh kagum dengan atitude bapak dosen satu ini. Saya masih ingin mengobrol banyak dengan beliau. Akhirnya giliran saya masuk untuk diperiksa. Bapak dosen itu masih di ruang dokter. Memang unik sih pengaturan pemeriksaan di tempat dokter ini. Untuk mengefisienkan waktu, ada dua orang pasien dalam satu ruangan. Hanya ada sekat tapi semi terbuka yang membatasi pasien satu dan pasien lainnya. Maka, saya dan pak dosen lagi-lagi berada dalam satu ruangan. Setelah selesai menangani pak dosen, dokter pindah meja untuk menangani saya.

"Saya pulang duluan ya. Semoga mbak cepat sehat," pak dosen itu menepuk bahu saya saat hendak pulang. Begitu juga dengan istrinya.

Saya pun menyambut tangannya dan mengucapkan harapan yang sama. Ah, semoga kita bisa bertemu lagi di tempat yang tidak sama, ya, Pak Bu.

Hari itu saya mendapat banyak pelajaran dari sebuah tempat praktik dokter. Sepertinya saya harus mulai tanamkan pada anak-anak untuk berani menciptakan karyanya sendiri. Menjadi dirinya. Menjadi orang yang bisa mengatakan "menurutku" bukan "menurut ini itu".

Salam kreatif
Rien Dj