Rabu, 25 November 2015

Sepatu Bertambal Ban Bekas

Catatan: Alhamdulillah postingan ini meraih juara 3. Salut untuk panitia yang kooperatif dan menepati janji. Sayang saya tak bisa hadir dalam festival antikorupsi di Bandung sekaligus penyerahan hadiah.


Lagi-lagi sepatuku bolong di bagian bawah. Tepat di tumit. Padahal bagian atas masih bagus.

"Aku mau beli sepatu." pintaku pada Bapak.

Seperti biasa Bapak menanyaiku apa alasannya. Itulah Bapak. Permintaan kami harus ada alasan yang tepat. Bapak lalu mengecek sepatuku. Kukira Bapak akan berkata, "Besok kita ke toko sepatu."
Tidak. Bukan itu yang dlakukan Bapak. Bapak mengajakku menyeberang jalan di depan rumah. Membawaku ke sebuah bengkel sepeda yang tepat berhadapan dengan rumah kami.
Aku tak tahu apa yang akan dilakukan Bapak. Aku butuh sepatu, bukan sepeda. Bapak malah meminta ban bekas yang sudah tak terpakai. Bapak memotong ban itu seukuran lubang di sepatuku. Tangannya sibuk menempelkannya dengan lem hingga lubang menganga di sepatuku tertutup.

"Nah, sudah bisa dipakai lagi," Bapak menyodorkan sepatu ke arahku dengan senyum puas.

Aku menerima sepatuku dengan diam. Aku, anak orang paling kaya di desaku (begitu teman-temanku selalu bilang), memakai sepatu bertambal ban bekas?
Baiklah, ini bukang satu-satunya hal yang terjadi.

Suatu hari kami harus makan nasi dicampur thiwul. "Kenapa harus dicampur, Bu?" keluhku saat itu. Bagaimana tidak, jika di tempat penyimpanan padi masih penuh dengan hasil panen kami?
"Ini musim paceklik. Kita tidak tahu sampai kapan ini akan berlalu.  Lagi pula, kita harus belajar makan sederhana, seperti yang dimakan tetangga-tetangga kita."
Aku hanya bisa menelan nasi bersama thiwul tanpa bicara lagi. Ternyata lama kelamaan, nasi bercampur thiwul itu jika digoreng menjadi nasi favoritku.

Begitulah ajaran kesederhanaan yang dilakukan Bapak untuk kami. Karena itu, kehidupan kami sehari-hari tidak pernah berbeda, entah ketika Bapak sedang berjaya, memiliki beberapa mobil dan usaha atau ketika Bapak pensiun dan hanya memelihara ayam sebagai kesibukan.

Ibu pun tak kalah sederhananya. Ibu tak pernah ikut-ikutan gaya hidup tetangga. Saat itu, menghadiri pernikahan atau jagong tanpa memakai perhiasan emas adalah hal yang memalukan. Hampir kebanyakan tetangga kami berlomba-lomba membeli emas untuk dipamerkan saat jagong. Mereka yang tak punya akhirnya memilih jalan lain. Pinjam. Meminjam perhiasan untuk jagong menjadi hal biasa di desa kami.
Ibu? Tidak sama sekali. Ibu memakai apa yang memang dimilikinya. Dan Ibu tak pernah memiliki suweng (anting) sebesar koin atau kalung berliontin sebesar 'tampah' seperti orang kaya pada umumnya.
Ibu tampil seadanya. Dengan barang-barang yang memang menjadi milknya.

Bertahun-tahun kemudian,

"Bu, teman-temanku sudah banyak yang memiliki hape," kata anakku yang masih duduk di sekolah dasar.
"Oya? Buat apa mereka beli hape? Bukankah di sekolah dilarang bawa hape?"
"Buat nge-game di rumah." katanya polos. "Aku juga kepingin."
"Kamu bisa main game di hape Ibu." jawabku. "Ibu, kan, tidak terus-menerus memegang hape. Kita bisa gantian. Lagi pula, masak kamu mau nge-game terus, lalu kapan belajarnya?"
Anakku tersenyum. Dia sudah tahu, kami tak akan pernah membeli barang yang tidak kami butuhkan. Apalagi harganya tidak murah. Bagi kami, uang seratus ribu bukan sedikit jika hanya untuk membeli barang yang tidak kami butuhkan, hanya sekadar mengikuti gaya dan tren.

Di rumah kami tak ada barang mahal. Kalaupun ada, itu memang benar-benar kami butuhkan. Mainan untuk anak-anak hanya sederhana dan harganya murah. Untuk apa membeli mainan mahal, karena tak lama lagi anak-anak tumbuh besar dan tentu saja akan melupakan mainan masa kecilnya.
antikorupsi
sumber foto: koleksi pribadi
 Bagi anak-anak bermain itu yang penting mengasyikkan. Mereka tak akan meributkan harga mahal atau murah. Kadang-kadang justru orang tua lah yang merasa gengsi membelikan mainan murah untuk anaknya. Apalagi jika anak-anak yang lain memiliki mainan serba mahal dan sedang tren.
Padahal, dengan membeli mainan murah seperti peralatan memasak dari gerabah tak kalah asyiknya dengan mainan lain. Selain sederhana, kita juga sekaligus dapat membantu melestarikan produk lokal, membantu perekonomian rakyat kecil.
sumber foto: koleksi pribadi
Warisan sikap sederhana yang diturunkan Bapak pada kami, membuat kami tak gampang terguncang ketika harga-harga barang tertentu melonjak naik. Jika harga cabe mahal, kami bisa makan tanpa cabe. Jika harga daging menguras pendapatan, kami bisa makan tempe dan tahu tanpa keluhan.
Mengingat Bapak dan Ibu -rahimahullah- adalah mengingat tentang kesederhanaan.
Karena itulah, kami tetap mampu bertahan dengan hidup seadanya, dengan tetap mencari uang secara halal, tak merampas hak orang lain.

Sederhana adalah salah satu kunci menuju hidup #GakPakeKorupsi #parentingantikorupsi