Jumat, 25 Maret 2011

Ke Mana Bisa Kirim Cerita Anak

Dari berbagai info yang berhasil saya kumpulkan, inilah beberapa media yang menerima kiriman naskah anak dari penulis.
1 .Majalah Bobo

2.Majalah Bravo!

3.Kompas Anak

4.Majalah Imu

5.Majalah Mentari

6.Majalah Mombi

7. Just for Kids

8. Kaltim Post

9. Solo Pos Minggu

10. Wortel Books Publishing:

Syarat:
1. Jenis naskah: Dongeng dan aktivitas. Wortel Books fokus pada anak dan pertumbuhannya untuk naskah yang masuk.
2. Segmen: Batita-12 thn.
3. Bilingual English-Indonesia, ditulis lengkap halaman per halaman ilustrasi. Iklustrasi boleh belakangan tapi naskah harus menggambarkan nanti ilustrasinya akan seperti apa-ibaratnya seperti skrip film.
*naskah yang masuk sangat banyak, sehingga harus sabar menunggu antri*

11. Majalah anak SOBAT
Naskah yang diterima: cerpen anak, kartun, humor, artikel, dll.
Syarat untuk pengiriman naskah :
- Naskah seputar dunia anak2 (original/blm pernah dipublikasikan di media manapun)
-
Naskah diketik 2.5 spasi, maksimal 2 halaman folio.
- Copy KTP (dewasa) atau Copy ID card (siswa)
- No. rekening

Bisa kirim via email: majalah.sobat@gmail.com dengan disertai copy KTP/identitas lain dan surat pernyataan orisinalitas karya (belum pernah dipublikasikan di media manapun).

BEDA FF DAN SINOPSIS

copas dari FB grup Pabers.

*dari tulisan Kang Ali Muakhir*

Untuk membedakan antara FF dan sinopsis karena ada beberapa FF yang seolah bener-bener memendekan cerita demi kuota yg tidak lebih dari 1000 karakter.

1. FF tidak perlu cerita yang beralur panjang atau bahkan berliku, cukup satu alur yang kuat

2. FF tidak perlu banyak tokoh

3. FF tidak perlu ada eksplorasi tokoh sangat detil; cukup misalnya, anak tujuh tahun itu (misalnya)

4. FF harus benar-benar kuat ceritanya, bukan sekadar cerita biasa, walaupun cerita yang biasa pun bisa sangat kuat asal pilihan alurnya tepat.

5. FF bisa bertema drama, misteri, humor, futuristik, atau campuran dari tema-tema tersebut.

6. FF juga bisa ditulis secara berima, jadi jangan terpaku pada tulisan biasa

7. FF bisa untuk semua usia, tinggal kita pilih tema, tokoh, dan cerita

8. FF bisa jadi cerita yang luar biasa kalau semua unsur dalam cerita diramu dengan sangat menarik, bahkan lebih menarik dari sebuah cerpen sekalipun.


Tetep Semangat!

Matahari Kecil

Jumat, 18 Maret 2011

Sarikata.com, Lomba Cerita Anak, Dongeng, 2011

Pangeran Zoran dan Pemotong Sayuran

Pangeran Zoran akhir-akhir ini terus berpikir. Wajahnya yang tampan tampak berkerut-kerut memikirkan sesuatu yang berat.

Keluhan para koki istanalah yang membuatnya murung. Setiap hari, selalu saja ada salah satu koki yang teriris jarinya saat memotong sayuran, daging, atau buah. Apalagi jika istana sedang mengadakan pesta atau jamuan makan untuk para raja dari kerajaan tetangga.

Para kokilah yang paling sibuk dan menderita, karena tangan-tangan mereka yang harus cepat menyiapkan makanan menjadi sasaran pisau yang tajam.

“Hati-hatilah, Dayang Mareta.” Kata kepala koki saat Dayang Mareta mengaduh karena jari telunjuknya teriris pisau. Dia sedang memotong sayuran yang menggunung di salah satu sudut dapur.

“Aku sudah hati-hati, tapi aku juga harus mengiris cepat-cepat agar saat jamuan makan, semuanya sudah beres.” Dayang Mareta membela diri.

*****

Pangeran Zoran merasa prihatin dengan keadaan di dapur, terutama Dayang Mareta. "Aku harus berbicara dengan Paman Guru. Biasanya dia dapat membantu dengan pengetahuan dan pengalamannya yang banyak."

Ketika bertemu Paman Guru, Pangeran Zoran pun menceritakan keluhan para koki istana. Paman Guru termenung lama. Dahinya berkerut-kerut, kepalanya mendongak ke langit.

“Aha! Paman Guru. Aku punya ide, tapi ….” Tiba-tiba Pangeran Zoran berseru. Meski kemudian menjadi ragu.

“Tapi apa, Pangeran?”

“Aku tak tahu bagaimana caranya mewujudkan ideku ini, Paman.”

“Apa sebenarnya ide Pangeran itu?” Paman Guru bertanya tak sabar.

“E … mungkin akan lebih baik jika ada alat pemotong sayuran otomatis.” Pangeran menjawab tak yakin.

“Masalahnya … bagaimana cara membuatnya, Paman?”

“Wah … ide Pangeran sangat cemerlang. “ Paman Guru menegakkan badannya karena semangat. “Kita kan bisa mencarinya di internet, Pangeran.”

“Benar, Paman! Semoga kita mendapatkan beritanya?”

Klik! Selanjutnya, Pangeran Zoran dan Paman Guru asyik di depan layar komputer.

“Paman, coba baca ini!” Pangeran mengubah posisi duduknya.

Mereka berdua mencermati sebuah berita tentang penemuan alat pemotong sayuran dari barang-barang bekas. Sayangnya tak ada petunjuk cara membuatnya.

“Kita bisa mencoba membuatnya sendiri, kan, Paman.” Pangeran Zoran masih menatap layar komputer.

“Bisa saja, sekalian mengasah kreativitas Pangeran.” Paman Guru tersenyum menggoda.

Tanpa menunda waktu, Pangeran dengan penuh semangat mencari alat-alat dan bahan yang dibutuhkan. Karena baru akan mencoba, Pangeran banyak memanfaatkan barang yang ada di gudang Istana. Penjaga Gudang sampai keheranan melihat Pangeran sibuk memilih barang-barang di gudang yang kebanyakan sudah kotor, berkarat, dan bau.

Berhari-hari Pangeran dan Paman Guru tak keluar dari ruang eksperimen milik Istana. Mereka keluar hanya saat makan atau tidur saja. Akhirnya setelah beberapa kali percobaan dan perbaikan, mesin pemotong sayuran itupun dapat bekerja dengan sempurna.

******

Dapur istana lebih ramai daripada biasanya. Bertumpuk-tumpuk sayuran, daging, telur, dan buah memenuhi ruangan. Istana memang akan menggelar pesta. Kali ini benar-benar istimewa. Pesta Ulang Tahun Pangeran Zoran. Lebih istimewa lagi karena Dayang Mareta dan yang lain, terutama kepala koki tak lagi mengomel atau mengeluh. Suara mesin terdengar di depan Dayang Mareta yang sibuk memasukkan sayuran ke dalamnya. Betul. Mesin buatan Pangeran Zoran benar-benar membantu pekerjaan koki istana. Dalam sekejap, berbagai sayuran dan cabai telah terpotong sempurna tanpa menyebabkan luka di jari koki seperti biasanya.

“Semuaaa …. siapkan nampan, karena pesta ulang tahun Pangeran akan segera dilmulai.” Komando kepala koki.

Dengan cekatan, para koki membawa nampan berisi berbagai makanan ke ruang makan istana yang luas dan indah. Pangeran Zoran dan Paman Guru tersenyum senang.

“Biasanya selalu saja ada balutan di salah satu jari Dayang Mareta.” Bunda Ratu berbisik kepada Raja lalu tersenyum kepada Pangeran Zoran.

Pangeran Zoran balas tersenyum. Hatinya berbunga-bunga. Semua penghuni istana juga tahu, semua itu tentu saja berkat mesin pemotong sayur karya Pangeran Zoran, kan!

***cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti lomba yang diadakan oleh:


Sarikata.com, Lomba Cerita Anak, Dongeng, 2011


LAPTOP KHUSUS UNTUK RENA
Rena tertatih-tatih menyusuri jalanan bersama dua sahabatnya, Ika dan Aisy. Tongkat putihnya ke kanan ke kiri, membantunya agar tak tersandung, atau terperosok di lubang, atau menabrak pepohonan. Seharusnya Rena menunggu Mbak Sih, pembantu di rumah sekaligus bertugas mengantar dan menjemput Rena ke sekolah. Tapi Rena suka tak sabar. Maka Rena memaksa ikut pulang bersama dua sahabatnya itu. Sebenarnya dia lebih suka jalan kaki juga. Lagi pula, jarak sekolah ke rumah kan tidak terlalu jauh. Mama saja yang terlalu khawatir, sehingga Rena dilarang ke sekolah sendirian.
“Aduh Mbak Rena, kenapa enggak menunggu saya?” Mbak Sih menghentikan motornya di sisi Rena.
“Mbak Sih lama banget, sih.” Rena duduk di belakang Mbak Sih. “Lagian, sekali-sekali pulang jalan kaki, kan, asyik Mbak. Bisa sambil ngobrol sama Ika dan Aisy.”
*****
Mata Rena menyipit, berkedip-kedip. Matanya mulai perih. Hidungnya hampir menempel di buku yang sedang dibacanya. Memang begitulah cara Rena agar dapat melihat huruf-huruf di dalam buku. Rena menderita low vision, sehingga tak bisa melihat kecuali dengan jarak sangaaat dekat. Rena juga tak bisa melihat dengan jelas benda di sekitarnya. Makanya dia sering menabrak barang-barang di rumah, apalagi jika adiknya meletakkan mainan atau sepeda sembarangan.
Rena itu gadis yang pintar, lho. Juga penuh semangat. Makanya dia tak merasa minder saat Papa dan Mama memasukkannya di sekolah umum. Papanya ingin ia terbiasa dengan dunia yang lebih luas. Papa ingin Rena tetap percaya diri dengan kondisinya di antara teman-temannya yang lain.
Rena hobi banget membaca dan menulis. Tapi matanya menjadi kendala. Untunglah, Mbak Sih bersedia membacakan buku untuknya, jika Mama capek. Soalnya, kan, Rena sering pusing kalau harus baca sendiri.
“Eh, Ka, foto kamu di FB lucu banget, sih.” Aisy terkikik geli.
“Huh, tapi aku gak suka komennya Amira. Nyebelin banget, tahu.” Ika mengomel.
“Biarin aja, kan anaknya memang suka begitu. Suka ngiri. Eh, kamu dah gabung di SalingSapa belum?” Ika bertanya pada Aisy.
“Sudah dong!” Aisy menjawab cepat. Lalu mereka ngobrol lagi. Makin seru, sebab beberapa teman Rena yang lain ikut bergabung.
Sementara itu, seperti biasa, Rena pura-pura asyik membaca. Akhir-akhir ini ia sering mendengar percakapan mereka tentang fesbuk. Mereka asyik banget! Sekarang malah ada satu lagi yang mereka bicarakan. SalingSapa. Kayaknya itu, kan, yang diciptakan oleh anak kecil, anak Indonesia malah. Betul! Rena tahu, kok, waktu disiarkan di televisi.
Rena sedih. Ia merasa sendiri, nggak nyambung sama sahabatnya. Pernah Rena mencoba membuka-buka internet. Tapi baru sebentar sudah tidak tahan. Wajahnya terasa panas, kepalanya juga pusing berat. Bahkan sebenarnya Mama dan Papa melarang Rena pakai komputer. Bukan apa-apa, tapi Mama dan Papa khawatir Rena terkena radiasi. Soalnya wajah Rena harus sangat dekat ke layar komputer agar bisa melihat. Pokoknya radiasi itu sesuatu yang berbahaya buat tubuh manusia. Begitu yang diketahui Rena.
*****
“Ren, dicari Aisy, tuh.” Mama membuka pintu kamar Rena. Rena memeluk guling, matanya terpejam. Dia dengar, kok, suara Mama. Tapi dia pura-pura tidur. Dia lagi malas bertemu temannya, apalagi Aisy dan Ika, yang akhir-akhir ini selalu ngobrol tentang fesbuk. Rena sebel. Sedih. Mama menutup pintu kamar Rena pelan. Terdengar suara Mama memberitahu Aisy kalau Rena tidur.
“Sayang ….” Tangan Mama membelai rambut Rena. Mama, sih, tahu kalau sebenarnya Rena tadi tidak tidur. “Ada apa? Berantem sama Aisy?”
“Nggak, Ma?”
“Trus kenapa nggak mau ketemu Aisy?”
Rena menceritakan kesedihannya karena obrolan teman-temannya akhir-akhir ini tentang FB, Saling Sapa, YM, Chatting …! Rena masih merasa kesal. Rena merasa tak lagi punya sahabat.
“Apa lagi tahun depan, kan, Rena naik kelas Ma. Dan di kelas besok, mulai ada pelajaran komputer.” Mata Rena basah.
Mama memeluk Rena. Mama sedih sekaligus bingung.
*****
Hari Minggu, Papa dan Mama mengajak Rena dan Rendi, adiknya, ke Jogja. Mungkin ke rumah Om Wija, adik Papa, pikir Rena. Ternyata Papa mengajak ke tempat lain. Kayaknya teman Papa kuliah dulu. Namanya Om Surya. Setelah ngobrol beberapa saat, Om Surya membawa sesuatu dari dalam kamarnya. Samar-samar Rena melihat kayak laptop Papa di rumah.
“Jadi, kamu ingin bisa fesbukan seperti temanmu?” Kata Om Surya. Lho, kok, tahu? Pasti Mama cerita ke Papa, trus Papa cerita ke temannya. Ih, jadi malu.
“Dengan laptop ini, kamu bisa, kok, main fesbuk kayak temen-temenmu.” Tangan Om Surya menekan tombol power.
“Yang bener, Om?” Rena tak percaya. Jangan-jangan Om Surya nggak tahu kalau Rena hanya bisa melihat dalam jarak sangat dekat.
“Iya, Rena. Ini komputer khusus. Komputer ini dirancang khusus untuk mereka yang sulit melihat atau tuna netra. Komputernya mempunyai program screen reader atau pembaca layar.” Om Surya rupanya seorang ahli teknologi komputer. Beliau juga sering diminta mengajarkan program komputer ini untuk guru-guru sekolah tuna netra agar mereka dapat mengajarkan juga pada muridnya.
Rena bingung tapi senang. Senang banget, sampai-sampai jantungnya seperti naik turun dengan cepat.
Lalu Om Surya mulai menerangkan macam-macam tentang komputer itu. Ternyata komputer itu dibuat agar bisa “membaca dan mendengar”. Saat Rena menekan tombol atau mengarahkan mouse maka muncul suara dari komputer itu. Jadi, Rena tahu tanpa harus melihat. Hebat ya! Papa dan Mama berkali-kali berdecak kagum. Kata Om Surya, di negara maju, banyak penyandang tuna netra, termasuk low vision seperti Rena yang sudah menggunakan komputer jenis ini. Kalau di Indonesia baru beberapa saja. Belum banyak.
“Nanti, Rena harus belajar mengetik sepuluh jari dulu. Sebab biar Rena gak usah repot melihat huruf-huruf di keyboard.” Kata Om Surya.
Dan hari itu, Rena sudah melupakan segala kesedihannya. Sebentar lagi, berarti ia juga bisa main fesbuk seperti teman-temannya.
“Tapi, saran Om sih, Rena sebaiknya membuka internet untuk menambah ilmu pengetahuan. Banyak banget ilmu yang bisa kita ambil dari internet. Sayang lho, kalau waktunya habis hanya untuk main fesbuk aja. Apalagi harga komputernya, kan, gak murah.”
*****
Tiap hari Rena belajar mengetik sepuluh jari di rumah. Mama menjadi pemandunya. Tapi, kapan ya Papa membelikan Rena laptop kayak punya Om Surya? Rena tahu kalau harganya mahal, makanya dia tidak berani mendesak Papa untuk membelikan cepat-cepat.
Rena bangun pagi dengan malas. Kemarin dia menerima rapor kenaikan kelas, dan masuk 5 besar. Tapi sampai saat ini tak ada tanda-tanda Papa akan membelikan laptop untuknya. Ngapain dulu sampai ke rumah Om Surya segala! Ngapain belajar mengetik sepuluh jari juga! Dari kemarin Rena banyak di kamar. Rena baru sedih.
Rena hendak berniat keluar kamar ketika samar-samar dia melihat sebuah bungkusan lumayan besar di atas mejanya. Ia mendekat dan merabanya. Ada pita di atasnya. Kotak itu juga agak berat saat diangkat. Rena mendekatkan wajahnya dan melihat tulisan di atas kertas yang ditempel dekat pita.
Untuk Rena
Love u
Papa-Mama-Rendi
Penasaran, tangan Rena membuka bungkusan itu. Jantungnya terasa berdetak lebih cepat. Laptop!
“Papa … Mama …!” Rena cepat-cepat keluar kamar mencari Mama dan Papa.
“Aawww!” Rena berteriak kaget karena menabrak adiknya.
Tapi Rena malah langsung memeluk mamanya erat-erat yang sedang membawa segelas teh untuk Papa. Sementara Rendi mengusap-usap pantatnya yang kesakitan.
Laptop kini adalah sahabat Rena. Bukan untuk fesbukan saja, lho. Nasihat Om Surya selalu diingat Rena. Satu harapan Rena, dia ingin agar teman-teman yang sama sepertinya dapat menikmati teknologi ini. Kalau perlu gratis! Tapi … apa kalian tahu caranya?

Senin, 14 Maret 2011

Tiga Temanku yang Ceria



Heidi
Di antara ketiga gadis cilik itu, maka yang aku kenal pertama kali adalah Heidi. Bahkan aku mengenal nama Heidi, jauh sebelumnya, berpuluh tahun yang lalu, saat aku masih kecil. Karena Heidilah aku lebih menyukai gunung daripada pantai. Mawar gunung, sayur mayur, rumputnya yang subur, semuanya menciptakan sensasi luar biasa dalam otak bawah sadarku.
Dari Heidi, aku suka berkhayal bahwa suatu hari nanti akan ada keajaiban untukku seperti yang diberikan Tuhan kepada sahabatnya.
Sara, a Little Princess
Gadis kedua setelah Heidi, yang aku kenal. Sebagaimana Sara selalu menemukan kebahagiaan dalam hidupnya yang “dianggap” menyedihkan, sesungguhnya aku telah selalu berusaha menemukannya juga. Dulu (dan hingga kini). Dulu, ketika semua teman SMP ku berlari keluar dengan seragam olahraganya, maka aku hanya duduk diam di sudut kelas. “Sesuatu” yang menimpaku membuatku tak bisa melakukan gerakan seperti teman-temanku. Sedih? Hmmm … rasa takut dan kesepian yang aku rasakan. Takut karena nilai olahragaku merah dan tidak disapa guruku dengan ramah.
Meski begitu aku mendapatkan kegembiraanku, sebab saat-saat itulah aku bisa melakukan sesuatu yang membuat temanku membelaku di depan Pak Guru. Membantu PR akuntansi mereka.
Tak berat, sih, sebab sebenarnya aku hanya membuat kolom-kolom di buku-buku mereka dengan penggaris. Atau menjaga tas mereka yang kadang berisi uang, dan tak mungkin membawanya di lapangan. Apa yang lebih membuatku senang selain mendapatkan kepercayaan dan keakraban mereka?
Sara dapat menemukan kejutan-kejutan menyenangkan dari kamarnya yang sempit, panas, dan kosong, serta banyak tikus, aku ternyata juga menemukan dari kekurangan yang aku miliki.
Pollyanna
Hei … permainan sukacita Pollyanna adalah permainanku juga. Aku memilikinya sejak dulu. Hanya saja mungkin namanya yang berbeda. Permainannya sama dengan apa yang telah menjadi moto hidupku selama ini “Menemukan Hikmah dalam setiap Langkah”.
Pollyanna mengatakan pada Bibi Snow, bukankah sekarang ia justru punya waktu lebih banyak dengan melakukan hal berguna dengan tangannya? Siapa tahu justru pekerjaan tangan Bibi Snow bisa membantu sesama lebih banyak dan lebih baik, dibandingkan jika ia tidak sakit. Inilah hikmah yang harus diambil dari sebuah musibah.
Tentu saja,Tuan Pendleton harus gembira karena hanya kakinya yang patah, dan sebentara lagi bisa berjalan, daripada tak punya kaki sama sekali, bukan? Bahkan dengan itulah ia bisa mengenal Pollyanna yang ternyata putri dari …. sssttt … ini rahasia!
Seandainya sejak kecil aku tak punya permainan “sukacita”, aku pasti tak tahu untuk apa aku masih mempertahankan hidupku. Sebab sekadar bernapas itu bukanlah hidup. Benar, kan, Pollyanna. Makanya aku “dengan segala keterbatasanku” tentu saja ingin benar-benar hidup.
Baiklah Pollyanna, aku senang karena kita punya permainan yang sama. Sayang aku mengenalmu baru sekarang, setelah aku tua. Hm ... bersukacitalah karena aku akan mengajarkan permainan mencari hikmah untuk anak-anakku. Tentu itu!
Oh … Heidi, Sara, Pollyanna, bagaimana kalau kapan-kapan kita kopdar?